Monday, February 4, 2019

12 Tanda Ilmu Yang Bermanfaat Dalam Diri Seseorang


Menuntut ilmu bukanlah untuk mengejar ranking satu dan dua, dan bukanlah pula untuk mengejar agar dapat pujian dari manusia hingga kita disebut sebagai ulama. Tujuan yang paling mulia dalam kita menuntut ilmu yaitu agar ilmu yang kita miliki bisa bermanfaat untuk diri kita sendiri dan orang lain. Ilmu apa yang maksudnya bermanfaat untuk diri kita dan orang lain?
Menurut Syaikhul Islam Imam al-Ghazali merumuskan bahwa:
"ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang membuatmu bertambah rasa takut kepada Allah, membuat mata hatimu semakin tajam terhadap aib-aibmu, menambah ma’rifatmu dengan menyembah-Nya, mengurangi keinginanmu terhadap dunia, menambah keinginanmu terhadap akhirat, membuka mata hatimu tentang rusaknya segala amalanmu sehingga engkau menjaga diri dari kerusakan itu, dan membuatmu teliti atas perangkap dan tipu daya setan." (Al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2011, hlm. 19).
Karena begitu utamanya ilmu yg bermanfaat hingga Rasulullah SAW sendiri memerintahkan ummatnya untuk memohon pada Allah agar kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
 “Mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR Ibnu Majah)
Tanda-tanda Ilmu Yang Bermanfaat Dalam Diri Seseorang

1. Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada ALLAH

2. Semakin semangat melakukan ibadah dan menjauhi segala macam kemaksiatan
 Ilmu yang bermanfaat akan membuat seseorang semakin rajin beribadah. Sebab dalam kacamata Islam, ilmu dan amal menjadi satu. Ibadah adalah bukti pengamalan ilmu. Imam al-Ghazali sering berpesan kepada para muridnya dengan mengatakan, "Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sia-sia." (al-Ghazali, Ayyuhal Walad, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), hlm. 4).

3. Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada ALLAH dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawadu’

4. Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia

5. Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia
Ilmu yang bermanfaat akan membuat seseorang semakin zuhud terhadap dunia. Syaikhul Imam Al Ghazali secara tegas mengingatkan, "Menuntut ilmu dengan tujuan meraih keuntungan dunia semata, sama dengan merobohkan agama." (al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, hlm. 1). Ilmu yang bermanfaat akan semakin membuat si penuntutnya termotivasi Selalu mengharapkan kebahagiaan di negeri akhirat. Sebagai Muslim menyakini akan adanya kehidupan akhirat adalah suatu kewajiban, karena sebab itu ia akan menyiapkan bekal terbaik sebelum kembali ke negeri yang tiada negeri lain sesudahnya.

6. Ilmu itu senantiasa berada di hatinya

7. Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan

8. Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian

9. Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah.
Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak ALLAH, bukan untuk kepentingan pribadinya

10 Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya sendiri

11 Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka

12. Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu.
Sesungguhnya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada ALLAH SWT

Tanya diri:
Sudahkah ilmu kita bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain ?



Sumber:cyberdakwah.com

10 Prinsip Dalam Upaya Meraih Ilmu Yang Bermanfaat


بسم الله الرحمن الرحيم

Muqaddimah

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله ، وعلى آله وصحبه وبعد :

Saudaraku fillah ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri telah menunjukkan kepadaku buah penanya tentang prinsip-prinsip yang selayaknya dijalani oleh para penuntut ilmu. Sungguh aku melihat tulisan tersebut sebagai karya yang istimewa. Dia telah mendapatkan taufiq untuk mengumpulkan prinsip-prinsip yang dibutuhkan oleh penuntut ilmu, diiringi dengan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Kesimpulannya, penulis telah melakukan suatu yang bagus dan memberikan faidah. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan, dan semoga Allah membanyakkan yang semisal ini.
Aku memberikan semangat kepada para penuntut ilmu untuk menghafal dan memperhatikan prinsip-prinsip ini. Wabillahit Taufiq.
Ahmad bin Yahya An-Najmi
27-4-1421 H
* * *

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد :

Tulisan ini merupakan penjelasan ringkas tentang prinsip-prinsip penting yang diperlukan oleh seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i). Saya wasiatkan dan saya ingatkan diriku dan saudara-saudaraku sekalian dengannya, karena sesungguhnya seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi dan ingin menuai hasilnya maka harus ada 10 prinsip :
>> Pertama: Meminta Tolong Kepada Allah
Manusia itu lemah. Tidak ada daya dan kekuatan baginya kecuali dari Allah. Apabila dia diserahkan pada dirinya sendiri, maka sungguh dia akan hancur dan binasa. Namun kalau dia menyerahkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala dan meminta tolong kepada-Nya dalam menuntut ilmu, maka Allah pasti akan menolongnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan dorongan untuk berbuat demikian dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah befirman :

( إياك نعبد وإياك نستعين )

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan. [Al-Fatihah : 5]
Allah juga berfirman :

(ومن يتوكل على الله فهو حسبة ) [ الطلاق : 3]

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia yang akan menjadi sebagai pencukupnya.” [Ath-Thalaq: 3]
Allah juga berfirman :

( وعلي الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين ) ]المائدة : 23[

“dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian memang kaum mukminin.”
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

لو أنكم توكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير ، تغدو خماصاً ، وتروح بطاناً

“Kalau seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rizki pada burung, yakni burung tersebut berangkat pagi dalam keadaan lapar, pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” *1
Sebesar-besar rizki adalah : ilmu.
Nabi kita Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa bertawakkal dan meminta pertolongan kepada Rabbnya dalam segala urusan beliau. Dalam doa keluar rumah yang sah dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam terdapat dalil yang menunjukkan hal tersebut. Beliau berdo’a :

بسم الله توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله

“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.” *2
>> Kedua: Niat yang baik
Seseorang niatnya harus karena Allah ‘Azza wa Jalla dalam menuntut ilmu. Bukan menginginkan didengar (orang lain) atau pun ingin terkenal, tidak pula karena kepentingan-kepentingan duniawi. Barangsiapa yang menjadikan niatkan hanya karena Allah, maka Allah akan memberikan taufiq padanya serta memberikan pahala atas amalannya tersebut. karena (menuntut) ilmu adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang terbesar.
Suatu amalan, seorang hamba tidak akan diberi pahala atas amalan tersebut, kecuali apabila dia mengikhlashkan karena Allah, dan mengikuti Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

( إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون ) [ النحل : 128[

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” [An-Nahl: 128]
Ketaqwaan yang terbesar adalah mengikhlashkan niat karena Allah. Adapun orang yang riya’ dalam menuntut ilmu, disamping dia rugi di dunia, dia juga akan diadzab di Hari Akhir. Sebagaimana dalam hadits yang menjelaskan tentang 3 orang yang diseret di atas wajah-wajah mereka. Salah satu dari tiga orang tersebut adalah seorang penuntut ilmu, yang mencari ilmu agar dirinya dikatakan sebagai orang ‘alim (berilmu), dan dia telah dikatakan demikian. *3
>> Ketiga: Merendah Kepada Allah dan Memohon Kepada-Nya Taufiq dan Ketepatan
Serta meminta kepada Rabbnya tambahan dalam menuntut ilmu. Seorang hamba itu faqir, sangat butuh kepada Allah. Dan Allah Ta’ala telah memberikan motivasi hamba-hamba-Nya untuk meminta dan merendah kepada-Nya. Allah berfirman :

( ادعوني أستجب لكم ) [ غافر : 60[

“Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan untuk kalian.” [Ghafir: 60]
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

( ينزل ربنا كل ليلة إلي سماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر ، فيقول: من يدعوني فأستجب له ، من يسألني فأعطية ، ومن يستغفرني فأغفر له)

“Rabb kita tiap malam turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, seraya berkata: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri dia, dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni dia.” *4
Allah ‘Azza wa Jalla juga telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohon kepada-Nya tambahan ilmu.
Allah berfirman :

( وقل رب زدني علما ) [ طه: 114]

Dan katakanlah (dalam doamu) Wahai Rabbku, tambahkan untukku ilmu. [Thaha: 114]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alahis salam :

( رب هب لي حكما وألحقني بالصالحين ) [ الشعراء: 83]

(Ibrahim berdoa): “Ya Rabbi, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalihin.” [Asy-Syu’ara: 83]
Hikmah di sini yang dimaksud adalah ilmu. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :

إذا اجتهد الحاكم … الحديث

Apabila seorang hakim (berilmu) telah berijtihad … *5
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mendo’kan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu agar diberi kekuatan hafalan. *6
Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mendo’akan shahabat Ibnu ‘Abbas agar diberi karunia ilmu. beliau berdo’a :

اللهم فقهه في الدين ، وعلمه التأويل

Ya Allah, jadikan ia faqih (berilmu) tentang agama, dan ajarkanlah padanya ilmu tafsir.” *7
Allah pun mengabulkan doa beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu tidaklah beliau mendengar satu hadits/ilmu kecuali beliau menghafalnya. Dan jadilah Ibnu ‘Abbas Radhiyallah ‘anhuma sebagai hibrul ummah dan turjumanul qur`an (gelar bagi shahabat Ibnu ‘Abbas karena keilmuannya yang sangat luas dan pemahamannya yang sangat mendalam terhadap tafsir Al-Qur’an).
Para ‘ulama pun senantiasa berjalan di atas prinsip ini. Inilah Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau menuju ke masjid, kemudian sujud kepada Allah dan meminta kepada-Nya dengan mengatakan: “Wahai Dzat yang telah mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku. Wahai Dzat yang telah memberikan pemahaman kepada Nabi Sulaiman, pahamkanlah aku.”
Maka Allah pun mengabulkan doa beliau. Sampai-sampai Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan: “Sungguh Allah telah mengumpulkan ilmu untuknya, sampai seakan-akan ilmu tersebut berada di antara kedua matanya, yang bisa beliau ambil sekehendak beliau.”
>> Keempat: Kebaikan Hati
Hati merupakan wadah bagi ilmu. apabila wadah tersebut bagus, maka bisa melindung dan menjaga sesuatu yang ada di dalamnya. Namun apabila wadanya rusak, maka sesuatu yang ada di dalamnya bisa hilang.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan hati sebagai dasar bagi segala sesuatu. Beliau bersabda :

ألا وإن في الجسد مضغه ، إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب

“Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh jasad. Namun jika jelek, maka jasad seluruhnya pun jelek. Ketahulah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati.” *8
Kebaikan hati akan terwujud dengan ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta merenungkan makhluk-makhluk dan ayat-ayat-Nya.
Kebaikan hati juga akan terwujud dengan merenungkan Al-Qur`anul ‘Azhim. Demikian juga kebiakan hati akan terwujud dengan banyak sujud dan shalat malam.
Hendaknya seseorang menjauh/menghindarkan dari perusak-perusak dan penyakit-penyakit hati. Perusak dan penyakit tersebut apabila ada dalam hati, maka hati tersebut tidak akan mampu membawa ilmu, kalau pun bisa membawanya namun ia tidak akan memahaminya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik yang sakit hatinya,
Mereka punya hati namun mereka tidak bisa memahaminya. [Al-A’raf: 179]
Penyakit-penyakit hati, terbagi dua: syahwat dan syubhat.
  • Syahwat, seperti cinta dunia dan berbagai kelezatannya, serta menyibukkan diri denganya, senang kepada gambar-gambar yang haram, suka mendengarkan sesuatu yang diharamkan berupa suara musik atau lagu, dan juga melihat sesuatu yang haram.
  • Syubhat, seperti keyakinan-keyakinan yang rusak, amal-amal yang bid’ah, menisbahkan diri pada berbagai paham pemikiran bid’ah yang menyimpang dan menyelisihi manhaj salaf.
Termasuk penyakit hati yang bisa menghalangi dari ilmu adalah, hasad ,khianat, dan sombong.
Termasuk perusak hati juga adalah kebanyakan tidur, banyak bicara, dan banyak makan.
Maka hendaknya dihindarkan penyakit-penyakit dan perusak-perusak kebaikan hati di atas.
>> Kelima: Kecerdasan
Kecerdasan itu ada yang alami, ada pula yang muktasab (bisa diupayakan). Apabila seseorang memang cerdas, maka dia harus semakin menguatkannya. Kalau tidak, maka dia harus menampa diri agar bisa meraih kecerdasan tersebut.
Kecerdasan merupakan di antara sebab kuat yang menunjang dalam pengumpulan ilmu, memahami, dan menghafalnya, serta membedakan antara berbagai masalah, memadukan dalil-dalil, dan sebagainya.
>> Keenam: Antusias Mengumpulkan Ilmu merupakan sebab untuk bisa memperolehnya dan mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala terhadapnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

( إن الله مع الذين اتقوا والذين هو محسنون ) [ النحل: 128]

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” [An-Nahl: 128]
Seseorang apabila dia tahu tentang nilai penting sesuatu, maka ia akan antusias untuk meraihnya. Sedangkan ilmu merupakan suatu terbesar yang semestinya diraih oleh seseorang.
Maka wajib atas penuntut ilmu: Antusias yang kuat untuk menghafal dan memahami ilmu, duduk bersama para ‘ulama dan talaqqi ilmu langsung dari mereka, semangat untuk banyak membaca, menyibukkan umur dan waktunya (untuk ilmu), dan sangat perhitungan terhadap waktunya.
>> Ketujuh: Keseriusan, Kesungguhan, dan Kontiunitas dalam Meraih Ilmu
Menjauh dari kemalasan dan kelemahan. Mujahadatun Nafs (memerangi diri sendiri) dan memerangi syaithan. Jiwa dan Syaithan merupakan dua penghalang amalan menuntut ilmu.
Di antara sebab yang membantu membangkitkan kesungguhan dalam menuntut ilmu adalah: Membaca biografi-biografi para ‘ulama, tentang kesabaran, kekokohan menanggung beban/resiko, dan perjalanan mereka dalam meraih ilmu dan hadits.
>> Kedelapan: Konsentrasi
Yaitu seorang penuntut ilmu mencurahkan segala kesungguhannya hingga ia berhasil sampai kepada tujuannya dalam ilmu dan kekokohan padanya, baik kekuatan hafalan, pemahaman, dan pondasi yang kokoh.
>> Kesembilan: Terus Berada di Sisi Guru dan Pengajar
Ilmu itu diambil dari mulut para ‘ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam ilmu di atas pondisi yang benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada ‘ulama, talaqqi (mengambil) ilmu langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak di atas kaidah-kaidah yang benar. mampu melafazhkan nash-nash qur’ani dan hadits dengan pelafazhan yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan. Memahami ilmu dengan pemahaman yang tepat sesuai maksudnya. Dan lebih dari itu, dia bisa mengambil faidah dari ‘ulama: adab, akhlaq, dan sifat wara’. Hendaknya dia menghindar agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah kitab. Karena sesungguhnya barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia akan banyak salahnya sedikit benarnya.
Demikianlah, inilah yang terjadi pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu kecuali ia sebelumnya telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan ‘ulama.
>> Kesepuluh: Menempuh Waktu yang Lama
Janganlah seorang penuntut ilmu mengira bahwa menuntut ilmu akan selesai sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Bahkan menuntut ilmu itu butuh kesabaran bertahun-tahun.
Al-Qadhi ‘Iyadh ditanya,
“Sampai kapan seseorang itu menuntut ilmu?”
Beliau menjawab,
“Sampai mati, sehingga tintanya menemaninya sampai ke kuburnya.”
Al-Imam Ahmad berkata:
“Aku duduk mempelajari Kitabul Haidh selama sembilan tahun hingga aku memahaminya.”
Demikianlah, para penuntut ilmu yang cerdas senantiasa duduk bermulazamah kepada ‘ulama selama sepuluh tahun atau dua puluh tahun. Bahkan sebagian mereka terus bermulazamah hingga Allah mewafatkannya.
Inilah beberapa prinsip yang perlu untuk diperhatikan oleh penuntut ilmu guna meraih ilmu.
Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq terhadap kita dan antum kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.

وصلي الله على نبينا محمد ، وعلي آله وصحبه ومن تبعهم واقتفي أثرهم بإحسان إلي يوم الدين .

تم ولله الحمد .

Ditulis Oleh: Asy Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri
Muqoddimah Oleh : Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi
Catatan Kaki :
* 1: HR. Ahmad (I/30), At-Tirmidzi (2344), Ibnu Majah (4164), dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 310.
* 2: HR. Abu Dawud (5095). At-Tirmidzi (3426), dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalimuth Thayyib no. 59.
* 3: Yaitu hadits dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menceritakan tentang tiga orang yang pertama kali diadili para hari Kiamat nanti, salah satu di antara mereka adalah orang yang diberi karunia ilmu :
… وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. …
“… dan seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, serta rajin membaca Al-Qur’an. Maka ia pun didatangkan, kemudian diperlihatkan kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, maka ia pun mengakuinya. Allah berkata: ‘Apa yang kamu amalkan dengan nikmat-nikmat tersebut?’ Dia menjawab: ‘Saya mempelajari ilmu dan mempelajarinya, serta aku rajin membaca Al-Qur’an karena Engkau.’ Allah menjawab: ‘kamu telah berdusta!! Engkau mempelajari ilmu karena ingin dikatakan sebagai seorang yang ‘alim (berilmu), dan engkau rajin membaca Al-Qur’an supaya dikatakan dia adalah qari’, dan kamu telah dikatakan demikian.’ Maka dia diperintahkan diseret di atas wajah, kemudian dicampakkan ke dalam Neraka. …” [HR. Muslim 1905]
* 4: HR. Al-Bukhari 1145, Muslim 758, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu
* 5: HR. Al-Bukhari 7352, Muslim 1716 dari shahabat ‘Amr bin Al-’Ash dan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhuma.
* 6: Lihat HR. Al-Bukhari 119
* 7: Penggal pertama do’a ini: (اللهم فقهه في الدين ) diriwayatkan oleh Al-Bukhari 143. Adapun penggal kedua diriwayatkan oleh Ath-Thabarani. Lihat Ash-Shahihah no. 2589.
* 8: HR. Al-Bukhari no. 52, Muslim 1599, dari shahabat An-Nu’man bin Basyir Radhiyallah ‘anhu.
Sumber:

DO'A MEMINTA ILMU YANG BERMANFAAT



Nabi صلى الله عليه و سلم berdoa setiap pagi, dengan doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
– Allahumma Inniy As-aluka ‘ilman naafi’an, wa rizqon thoyyiban, wa ‘amalan mutaqobbalan –
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima“. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu as-Sunni).
Dan juga Nabi صلى الله عليه و سلم berdoa, dengan doa:
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي, وَعَلِّمْنِيْ مَايَنْفَعُنِيْ, وَ زِدْنِيْ عِلْمًا
– Allahumman-fa’niy bimaa ‘allamtaniy wa 'allimiy maa yanfa’uniy, wa zidniy ‘ilman –
“Ya Allah, berilah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku, Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.” (HR. at-Tirmidzi:3599, dan Ibnu Majah:251, 3833).
DO'A BERLINDUNG DARI ILMU YANG TIDAK BERMANFAAT
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ, وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَ مِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
– Allahumma inniy a’udzubika min ‘ilmin laa yanfa’, wa min qolbin laa yakhsya’, wa min nafsin laa tasyba’, wa min da’watin laa yustajaabu lahaa –
“Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim:2722, an-Nasa’i VIII/260). (171)
Penulis : Ustadz Fuad Hamzah Baraba’, Lc. حفظه الله تعالى

Wahai Penuntut Ilmu;Lelahmu, Memuliakanmu..

“ Barangsiapa bersabar dengan kesusahan yang sebentar saja maka ia akan menikmati kesenangan yang panjang” (Thariq bin Ziyad)
Anak-anak kita… ada kalanya hati mereka jenuh saat terus berkutat dengan ilmu, menghafal Al Qur’an, hadist, do’a-do’a dan materi lainnya, mendengarkan nasehat dari ustadz ustadzah. Merasa lelah saat setiap hari harus belajar, belajar dan belajar. Di kuttab, belajar. Di rumah, belajar lagi. Menghafal terus. Merasa penat karena harus duduk tertib, diajarkan adab, adab dan adab. Anteng, tanpa mainan. Merasa berat dengan perjuangan menuntut ilmu sebagai bekal mujahid-mujahidah tangguh pejuang agama-Nya. Penerus dakwah Rasulullah SAW untuk meraih kembali kegemilangan Islam.
Mari rehat sejenak, kita renungkan nasehat Imam asy Syafi’i;
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup baru terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi keruh karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang
Singa, jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah, jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Biji emas bagaikan tanah sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya kayu biasa jika di dalam hutan.”
 Calon ahli ilmu tidak akan tinggal diam. Ia tempuh perjalanan jauh dari rumahnya untuk menuntut ilmu. Ia akan dapatkan ilmu yang membuatnya mulia dan tinggi derajatnya di sisi Rabb-Nya, ia akan dapatkan pengganti asyiknya mainan.
Tentunya kita juga belajar dari generasi hebat terdahulu, bagaimana beliau-beliau rahimakumullah, begitu besar semangatnya dalam menuntut ilmu. Sangat kuat ghirah perjuangannya untuk terus belajar. Rela menempuh perjalanan bermil-mil untuk memperlajari 1 bab ilmu. Bahkan hanya untuk mendapatkan 1 hadist, beliau tempuh perjalangan siang dan malam di tengah gurun pasir yang tandus, di bawah panas terik matahari dan dingin malam yang menggigit, dengan perbekalan yang sangat terbatas. Namun, beratnya perjuangan itu justru terasa ringan karena nikmatnya ilmu yang beliau-beliau rasakan. Sebagaimana Imam Ahmad yang ditanya oleh sahabatnya karena terlihat sangat bersemangat dan tidak mengenal lelah dalam menuntut ilmu, “ Kapankah engkau akan beristirahat?“dan MasyaaAllah beliau menjawab dengan mantab, “ Nanti, istirahatku ketika kakiku telah menapak di surga.”
 Niatkan; Menuntut ilmu dalam rangka berjuang fi sabilillah
Barangsiapa yang meninggal namun belum sempat berjuang di jalan Allah dan tidak pernah dalam dirinya (berniat) untuk berjuang di jalan Allah, maka ia meninggal dalam keadaan munafiq.
(HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Nasai)
Mari niatkan setiap langkah anak-anak kita dalam rangka berjuang menuntut ilmu di sini, adalah semata-mata untuk mengharap keridhoan Allah, niat berjuang fi sabilillah. Kita mengamanahkan anak-anak belajar di kuttab bukan sekedar untuk mendapatkan nilai-nilai bagus di rapor, bukan sekedar meraih pujian dari ustadz ustadzah, bukan sekedar mengejar target hafalan, bukan sekedar untuk mengejar gelar, pekerjaan, jabatan, kekuasaan atau popularitas. Melainkan untuk bekal beramal dalam rangka meningkatkan kualitas ketaatan, mendapatkan derajat tinggi dan kemuliaan di hadapan Allah. “.. niscaya Allah mengangkat (derajat) orang-orang yang yang beriman dan orang-orang yang berilmu, beberapa derajat” (QS. Al Mujadilah: 11). Prestasi-prestasi duniawi hanyalah salah satu jembatan bagi kita mengukir prestasi akhirat. Sebagaimana ilmuan-ilmuan terdahulu luar biasa dalam ketaatan kepada Allah dan luar biasa pula dalam bidang ilmu pengetahuan/sains.
Terus berlelah-lelah berjuang mendapatkan ilmu agar semakin menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Ya, agar lelah ini berujung pada ridha-Nya, berbuah jannah-Nya.
“ Barangsiapa yang menempuh jalan untuk untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan memudahkan jalanbaginya menuju surga. Sesungguhnya malaikat mengepakkan sayapnya sebagai tanda ridha bagi para penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim akan dimohonkan ampunan oleh penduduk langit dan bumi serta ikan yang berada di lautan. Sesungguhnya keutamaan orang alim (berilmu) di atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan saat purnama di atas bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu berarti mengambil bagian yang besar.”  (HR. Tirmidzi)
Wahai ayah dan bunda, mari kita tegarkan hati kita mengantarkan putra-putri kita berjuang menuntut ilmu di jalan Allah. Perjuangan yang akan menjadikan mereka generasi emas kebanggaan, memakaikan mahkota cahaya untuk ayah dan bunda kelak dan mengalirkan pahala yang terus mengalir tiada henti. Mari kita belajar dari ibunda para ulama terdahulu, salah satunya, Ibunda Sufyan Ats Tsauri;
“ Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan ibu akan mencukupimu dengan hasil memintal. Wahai anakku, jika kamu menulis 10 kalimat, lihatlah apakah hatimu bertambah khusyuk dan taat, jika tidak demikian, ketahuilah sungguh itu membahayakanmu dan tidak membawa manfaat untukmu.” Beliau mendukung penuh, memberikan pembiayaan dan motivasi kuat untuk pendidikan putranya. Beliau juga membimbing dan mengarahkan bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk menambah khusyuk dan taat kepada Allah.
Sebagaimana diteladankan juga oleh ibunda Imam Syafi’i, Fathimah binti Ubeidillah yang mengasuh Syafi’i sendirian semenjak ditinggal meninggal oleh suami. Ibunya berbesar hati melepasnya di usia 10 tahun untuk menuntut ilmu ke Mekkah. Kita juga meneladani kecerdasan ibunda Imam Syafi’i dalam membentuk kecerdasan dan kepribadian Imam Syafi’i hingga beliau berhasil menjadi imam besar.
Tentunya kita juga belajar dari semangat para sahabat Rasulullah SAW yang setiap hari haus akan ilmu, “ setiap hari yang aku lalui tanpa menambah ilmu yang mendekatkanku kepada Allah, maka tidak berkahlah bagiku terbitnya matahari hari itu.”
 Cahaya Ilmu yang memuliakanmu..
“ Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah: 15-16) “ Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang telah diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al A’raf: 157)
“ Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarmu.” (QS. Al Baqarah: 282).  Hamba yang senantiasa bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah akan dicintai-Nya dan makhluknya, berada dalam kesenangan, tenang hatinya, baik perbuatannya dan berwibawa penampilannya karena cahaya Allah yang memancar dari tubuhnya. Dengan hanya melihat hamba tersebut jiwa merasakan kenikmatan. “Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa saja yang dikehendakinya dan Allah mempunyai karunia yang besar.”( QS. Al Hadid: 21)
Hasan al Bashri menjabarkan “Orang-orang yang beriman adalah kaum yang tawadhu’ (rendah hati dan tunduk). Sungguh demi Allah, pendengaran, penglihatan dan anggota badan mereka semuanya tunduk. Sampai-sampai engkau mengira mereka sedang sakit, padahal mereka sehat. Akan tetapi mereka diliputi rasa takut kepada Allah. Mereka menjauh dari tipuan dunia karena ilmu mereka tentang akhirat. Mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan kami.’” Beliau melanjutkan, “ Engkau akan menjumpai orang yang mencapai tingkat takwa, yaitu orang yang tekun dalam menuntut ilmu, semakin berilmu, semakin merendah, semakin tawadhu’.”
Imam Asy Syafii juga berpesan, “Barangsiapa mendalami ilmu agama (Islam) , mulialah kedudukannya. Barangsiapa yang belajar Al Qur’an, besarlah harga dirinya. Barangsiapa mendalami ilmu fiqih, kuatlah kesehariannya. Barangsiapa menulis hadist, kuatlah hujjahnya. Barangsiapa yang belajar ilmu hisab (hitungan) sehatlah pikirannya. Barangsiapa belajar bahasa arab, haluslah tabiatnya. dan barangsiapa tidak menjaga dirinya dari dosa dan kemaksiatan, tidaklah bermanfaat ilmu baginya.”
Nikmatnya menjadi penuntut ilmu..
  1. Mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah. (QS. Al Mujadillah: 11)
  2. Dikelilingi malaikat, dido’akan dan dimohonkan ampunan kepada Allah.
“ Jika kalian berjalan dan bertemu dengan taman-taman surga, maka berhentilah. Yaitu majelis-majelis ilmu. Sesungguhnya di sisi Allah ada malaikat-malaikat yang selalu mencari majelis-majelis ilmu. Jika mereka menemukannya, mereka duduk mengelilingi para penuntut ilmu dan mendoakannya. “(HR. Tirmidzi)
  1. Mendapatkan rahmat dan ketentraman, serta disebut namanya dihadapan penduduk langit. “ Tidaklah suatu kaum duduk untuk berdzikir kepada Allah kecuali malaikat akan mengayomi mereka, rahmat Allah meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
  2. Sukses dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat maka wajib baginya memiliki ilmu. Dan barangsiapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu.” (HR. Tirmidzi)
  3. Mendapat kebaikan dari Allah. “ Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan diberikan kepahaman dalam ilmu agama.” (Muttafaq alaih)
  4. Mengalirkan pahala meskipun sudah meninggal dunia. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda “ Apabila manusia meninggal dunia, terputus amalnya kecuali 3 hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholih yang mendoakan.”
  5. Istiqomah dalam ketaatan. “Wahai pembawa ilmu, beramallah dengan ilmu itu, barangsiapa yang sesuai antara ilmu dengan amalnya maka mereka akan selalu istiqomah dalam ketaatan.”( HR. Ad Darimi)
  6. Dimudahkan jalan menuju surga. “Barangsiapa menempuh jalan untuk untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya menuju surga.” (HR. Bukhori & Muslim)
Maka, ketika kita merasa kelelahan dalam perjuangan menuntut ilmu ini, mari kita kuatkan kembali keimanan kita. Mari kita kuatkan kesabaran kita, bersabar dengan ujian dalam menuntut ilmu, bersabar dalam ujian-ujian kehidupan dunia, yang sebenarnya hanya sebentar saja. Ya, kita di dunia ini hanyalah seperti sekian menit saja dibandingkan lamanya masa di akhirat. “ Barangsiapa bersabar dengan kesusahan yang sebentar saja maka ia akan menikmati kesenangan yang panjang” (Thariq bin Ziyad)
Mari kita kobarkan semangat kita untuk meraih derajat tinggi dan mulia di sisi-Nya. Sesungguhnya cita-cita kita tidak terhenti pada kebahagiaan dunia, melainkan akhirat. Seperti cita-cita Urwah bin Zubair, “ Cita-citaku adalah zuhud di dunia dan sukses di akhirat. Aku hanya ingin menjadi orang yang ikut andil dalam menyebarkan ilmu-ilmu keislaman.” MasyaaAllah, begitu semangatnya generasi terdahulu dalam belajar dan mengajarkan ilmu. Rasulullah SAW juga telah mendidik kita untuk menjadi orang yang selalu bersemangat.
 “ Bersemangatlah kalian kepada apa yang bermanfaat bagi kalian, mintalah pertolongan Allah dan jangan malas.” (HR. Bukhori & Muslim). Mari kita panjatkan do’a yang diajarkan Rasulullah SAW, “ Ya Allah, aku sungguh-sungguh memohon kepadamu ketegaran dalam urusan agama ini dan tekad kuat berada di atas petunjuk-Mu” .  Juga do’a dalam firman-Nya, QS. Thaha: 114, “ Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.”
 Kita renungkan kembali nasehat Imam Asy Syafi’i,“ Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar, Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya, maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya.Demi Allah, hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa.
Wahai para penuntut ilmu, calon generasi peradaban Islam, Hendaklah ilmu yang kita miliki menjadikan kita semakin takut untuk bermaksiat dan semakin semangat dalam taat kepada Allah. Menjadikan kita terus berjuang untuk mewujudkan kegemilangan Islam. Bersemangatlah, berlelah-lelahlah, karena lelahmu akan memuliakanmu..

Keutamaan Mengajarkan Ilmu

Orang yang mengajarkan ilmu, menjadi seorang guru, baik guru dalam ilmu agama maupun ilmu dunia punya keutamaan begitu besar. Bagaimanakah keutamaan mengajarkan ilmu itu?

Bentuk Mengajarkan Ilmu

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893).
Kebaikan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah kebaikan agama maupun kebaikan dunia. Berarti kebaikan yang dimaksudkan bukan hanya termasuk pada kebaikan agama saja.
Termasuk dalam memberikan kebaikan di sini adalah dengan memberikan wejangan, nasehat, menulis buku dalam ilmu yang bermanfaat.
Hadits di atas semakna dengan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)
Bentuk pengajaran ilmu yang bisa diberikan ada dua macam:
  • Dengan lisan seperti mengajarkan, memberi nasehat dan memberikan fatwa.
  • Dengan perbuatan atau tingkah laku yaitu dengan menjadi qudwah hasanah, memberi contoh kebaikan.
Khusus dakwah dengan qudwah hasanah, yaitu langsung memberikan teladan, maka jika ada orang yang mengikuti suatu amalan atau meninggalkan suatu amalan karena mencontoh kita, itu sama saja dengan bentuk dakwah pada mereka. Hal ini termasuk pada ayat,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110).

Keutamaan Mengajarkan Ilmu

  • Ia akan mendapatkan pahala semisal pahala orang yang ia ajarkan.
  • Orang yang mengajarkan ilmu berarti telah melakukan amar ma’ruf nahi munkar, demi baiknya tatanan masyarakat lewat saling menasehati.
  • Termasuk bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
  • Akan membimbing dan mewujudkan kehidupan bahagia pada tiap individu masyarakat dengan adanya adab dan hukum Islam yang tersebar.

Walau Satu Ayat, Ajarkanlah!

Intinya, ajarkanlah ilmu yang dimiliki walau satu ayat. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari no. 3461).
Yang dimaksud dengan hadits ini adalah sampaikan kalimat yang bermanfaat, bisa jadi dari ayat Al Qur’an atau hadits (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 360).
Semoga bermanfaat, semoga semakin semangat dalam mengajarkan ilmu pada yang lain. Semangat!

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1432 H, 10: 129-130.


Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/9641-keutamaan-mengajarkan-ilmu.html

Konsep Ilmu yang Bermanfaat dalam Islam

Dalam bidang ilmu pengetahuan, krisis yang berlaku dalam masyarakat ilmuwan kembali kepada suatu perkara yang sangat ditakuti oleh Baginda Rasulullah SAW. Diriwayatkan dalam sebuah hadis:-

‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ‏قَالَ: كانَ مِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ ‏

Maksudnya: “Daripada Abu Hurairah r.a. bahawa beliau berkata: “Antara doa Nabi s.a.w. adalah “Wahai Tuhanku, aku berlindung denganMu daripada ilmu yang tidak bermanfaat, doa yang tidak didengari, hati yang tidak khusyuk dan nafsu yang tidak pernah puas”.[1]
Ilmu yang tidak bermanfaat merupakan krisis yang sangat besar dalam masyarakat ilmuwan sehingga menyebabkan ilmu yang sepatutnya menjadi sumber kebahagiaan kepada mereka, sebaliknya menjadi sumber kebinasaan mereka.
Imam As-Sindi berkata dalam ‘Syarah Sunan Ibn Majah’ pada mensyarahkan hadis tersebut: “Sesungguhnya, ilmu jika tidak memberi manfaat kepada tuannya, maka ia akan menjadi hujah ke atasnya”.Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menjadi pendorong kepada tuannya untuk mengamalkannya. Dalam erti kata yang lain, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan oleh tuannya dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya melalui amal ibadah dan penunaian aspek kehambaan.
Justeru, Islam sangat mementingkan ilmu yang dipelajari oleh seseorang dalam rangka membentuk hala tuju berfikir yang sahih dalam mindanya agar menatijahkan amalan yang sahih. Maka, kita dapati Islam menekankan hiraki ilmu (maratib al-ilm) secara jelas sesuai dengan kepentingannya dalam maksud menyempurnakan kehambaan seseorang kepada Tuhannya.
Peringkat-peringkat Ilmu (Maratib al-Ilm)
Oleh yang demikian, kita dapati, dalam pembahagian ilmu menurut Islam, ilmu-ilmu yang dinilai sebagai fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim untuk mempelajarinya) adalah ilmu-ilmu yang menjadi asas penyempurnaan kehambaan seseorang kepada Tuhannya seperti ilmu aqidah, ilmu fiqh/syariah dan ilmu akhlak.
Guru kepada guru kami, Sheikh Abdul Qadir Isa Al-Halabi berkata dalam Haqa’iq Ani At-Tasawwuf:-
“Ilmu ada tiga jenis:Pertama: Ilmu yang dituntut.
Kedua: Ilmu yang dilarang.
Ketiga: Ilmu yang digalakkan
Pertama: Ilmu yang dituntut :
Ilmu yang dituntut ada dua jenis:
Fardhu ‘Ain: Setiap Mukallaf difardhukan untuk mempelajarinya secara individu dan Fardhu Kifayah: iaitu setiap orang difardhukan untuk mempelajarinya tetapi gugur kefardhuan tersebut jika ada sebahagian daripada muslimin yang mempelajarinya.
Adapun ilmu yang menjadi fardhu ’ain tersebut adalah:
Pertama: Mempelajari aqidah ahlus-sunnah wal jamaah dengan istidlal ijmali (pendalilan yang asas/ringkas) dalam setiap masalah keimanan agar seseorang keluar daripada belenggu taqlid dan dapat memelihari imannya ketika berhadapan dengan ancaman golongan atheis dan golongan sesat.
Kedua: Mempelajari ilmu yang membolehkan seseorang Mukallaf untuk melakukan apa yang difardhukan ke atasnya seperti solat, zakat, haji, puasa dan sebagainya.
Ketiga: Mempelajari sebahagian daripada hukum-hakam Mu’amalat yang diperlukan dalam aktiviti harian yang dilakukannya seperti jual-beli, sewa, nikah dan sebagainya agar dia dapat melakukan mengikut apa yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. dan dapat menjauhi larangan-Nya.
Keempat: Mempelajari hal-hal hati seperti tawakkal, takut kepada Allah, redha dan sebagainya yang dapat membentuk kemurnian hati seseorang muslim.
Kelima: Mempelajari tentang akhlak-akhlak baik dan buruk samada khlak tersebut zahir mahupun batin.
Adapun ilmu-ilmu fardhu kifayah yang mana ianya diperlukan dalam pembangunan masyarakat (seperti ilmu perubatan dan sebagainya) dan secara kelompok seperti mendalami ilmu fiqh, ilmu tafsir dan sebagainya.
Adapun ilmu-ilmu yang dicegah untuk mempelajarinya adalah:
Pertama: Mendalami mazhab-mazhab sesat dan fikiran-fikran sesat tanpa bertujuan untuk menolaknya, iaitu sekadar ingin memahaminya.
Kedua: Mendalami ilmu Tajnim (astrologi) atau perdukunan.
Ketiga: Ilmu Sihir, jika tujuan mempelajarinya untuk mengamalkannya.
Adapun ilmu-ilmu yang digalakkan mempelajarinya adalah seperti ilmu-ilmu tentang kelebihan-kelebihan sesuatu amalan, mengetahui amalan-amalan sunat dan makruh, mempelajari ilmu fardhu kifayah setelahmana ada golongan yang telah mempelajarinya, mendalami ilmu fiqh dan cabangnya, dan sebagainya.”[2]
Ilmu yang Menjadi Hidayah
Imam al-Ghazali r.a. menjelaskan maksud “manfaat” bagi sesebuah ilmu berdasarkan syarak sebagaimana dalam kitab ‘Al-Mustosfa’[3]:-

وليست المنفعة في الشهوات الحاضرة والنعم الفاخرة فإنها فانية دائرة ، بل النفع ثواب دار الآخرة

Maksudnya: “Bukanlah manfaat itu pada syahwat semasa dan nikmat yang dimegahkan di dunia kerana ianya adalah sebuah perkara yang fana’. Bahkan, manfaat tersebut adalah pahala pada hari akhirat nanti.”
Maksudnya, manfaat daripada ilmu adalah manfaat yang kekal sehingga ke akhirat. Adapun manfaat duniawi yang sementara, maka, ia tidak dinilai sebagai manfaat yang hakiki dalam neraca syarak.
Maka, ilmu yang bermanfaat dalam neraca nabawi adalah ilmu yang menjadi hidayah dalam rangka penyempurnaan kehambaan seseorang kepada Tuhannya. Rasulullah s.a.w. bersabda dalam sebuah hadis yang lebih jelas:

من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعدا

Maksudnya: “Sesiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah petunjuk, maka tiada bertambah daripada Allah melainkan kejauhan (bertambah jauh daripada Allah s.w.t.)[4]
Ilmu sebagai hidayah juga bererti ianya menjadi jalan untuk mengenal Allah s.w.t.. Oleh sebab itulah, pengetahuan seseorang kejadian alam ini (kosmologi) dan diri sendiri sepatutnya mendekatkan dirinya kepada Allah s.w.t. kerana alam ini dan diri sendiri adalah antara tanda-tanda kewujudan, keesaan, kekuasaan dan ketuhanan Allah s.w.t..
Oleh sebab itulah dalam surah al-`Alaq[5] ketika Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan…” menunjukkan betapa ilmu adalah jalan mengenal Allah s.w.t. sebagai Maha Pencipta.
Berdasarkan ayat tersebut kita fahami bahawasanya, Islam menggalakkan kita menuntut ilmu yang bersifat bersepadu (intergrated knowladge) yang mana setiap ilmu tersebut mendekatkan diri kita kepada kewujudan dan keagungan Allah s.w.t., bukan menjauhkan kita daripada konsep ketuhanan sebagaimana sifat ilmu yang cuba dikembangkan oleh masyarakat Barat moden iaitulah ilmu yang terpisah (departmentalised knowladge).
Isyarat kesepaduan ilmu ini didapati pada firman Allah s.w.t. yang berbunyi: “bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan…”, yang menunjukkan bahawasanya, ilmu itu semestinya sesuatu yang mendekatkan dirimu kepada Maha Pencipta itu sendiri (taqarrub). Justeru, kembali kepada konsep asal ilmu dalam Islam dapat menyelesaikan krisis disebabkan Sekularisasi Ilmu.
Ilmu yang Membuahkan Amal
Antara konsep dan maksud ilmu yang bermanfaat dalam Islam juga adalah ilmu yang bersifat praktikal bahkan membuahkan kesedaran dalam diri seseorang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya, terutamanya ilmu-ilmu agama yang praktikal, yang telah dipelajarinya. Krisis ilmu tanpa amal ini banyak berlaku dalam komuniti mereka yang mendalami ilmu-ilmu agama, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’.
Imam al-Ghazali r.a. antara tokoh ilmuwan Islam yang sangat ketara dalam membahaskan krisis ilmu tanpa amal ini, dalam kebanyakan karya dan tulisan beliau. Bahkan, beliau pernah mengingatkan bahawasanya ilmu tanpa amal umpama seorang pahlawan yang lengkap bersenjata, namun ketika berhadapan dengan binatang buas, dia tidak menggunakan senjata tersebut untuk mempertahankan dirinya. Maka, senjata-senjata yang dimilikinya tidak bermanfaat buat dirinya kerana dia tidak menggunakannya untuk mempertahankan dirinya daripada serangan binatang buas.
Saidina Abu al-Darda’ r.a. berkata:

إنما أخشى على نفسي أن يقال لي على رؤوس الخلائق : يا عويمر هل علمت ؟ فأقول : نعم ، فيقال : ماذا عملت فيما علمت ؟

Maksudnya: “Sesungguhnya saya takut ke atas diriku akan dikatakan kepadaku (di akhirat) ketika di hadapan sekalian makhluk: “Wahai ‘Uwaimir. Adakah kamu ketahui (berilmu)?” Maka, saya katakan: “Ya.” Maka dikatakan (kepadaku): “Apa yang engkau amalkan daripada apa yang engkau ketahui.”[6]
Sebahagian guru kami mengingatkan para penuntut ilmu untuk meninggalkan jidal (perdebatan) dalam bidang keilmuan pada peringkat menuntut ilmu kerana banyaknya berdebat itu akan mengurangkan upaya untuk beramal. Orang yang sibuk mengisi waktunya dengan debat dan berbicara semata-mata, akan mengabaikan amal yang perlu dilakukan daripada ilmu yang telah dipelajari.
Hubungan Ilmu dengan HikmahAllah s.w.t. berfirman:

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ ٱلأَلْبَابِ

Maksudnya: Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (Surah al-Baqarah: 269)
Sebahagian ulama’ tafsir menafsirkan al-Hikmah sebagai pengetahuan terhadap hakikat sesuatu sebagaimana ia. Sebahagian ulama’ tafsir yang lain pula menafsirkan al-hikmah sebagai perealisasian ilmu (dalam bentuk penghayatan dan amalan) dan ketetapan ilmu (sampai tahap yakin). [7] Di sinilah hubung kait antara al-hikmah dengan al-Ilm al-Nafi’e atau ilmu yang bermanfaat.
Ilmu yang bermanfaat ada pada dua bentuk iaitu: pada ilmu berbentuk kefahaman dan pada ilmu berbentuk praktikal. Maka, ilmu yang bermanfaat berbentuk kefahaman adalah, penghayatan yang jelas dan benar dalam hati seseorang samada dengan perasaan (zauq) atau penyaksian mata hati (syuhud) atau keyakinan. Adapun bagi ilmu berbentuk praktikal, maka ilmu yang bermanfaat baginya adalah jika ilmu itu membawa kepada kekuatan untuk mengamalkannya atau adanya bantuan Allah s.w.t. dalam diri seseorang untuk menterjemahkannya dalam bentuk amalan.
Imam Fakhruddin al-Razi[8] menjelaskan hal ini dengan berkata: hikmah adalah ilmu dan kefahaman. Ilmu adalah pengetahuan terhadap sesuatu samada secara ringkas mahupun terperinci. Kefahaman pula adalah suatu pengetahuan dan dapatan akal yang bersifat terperinci dan tidak mudah didapati. Bahkan, kesempurnaan kehambaan seseorang manusia kembali kepada dua perkara:
Pertama: Mengetahui kebenaran sebagaimana ianya. Ia dikenali sebagai al-Hikmah al-Nazhoriyyah.
Kedua: Melakukan sesuatu dengan betul. Ia dikenali sebagai al-Hikmah al-‘Amaliyyah.
Maka, kedua-dua ini boleh dianggap sebagai hikmah bagi manusia, iaitu kemuncak kepada penguasaan ilmu dengan kecerdasan akal.[9]
Penyembuh Krisis dalam Lapangan Ilmu
Konsep al-Hikmah atau al-Ilm al-Nafi’e adalah solusi kepada krisis Sekularisme dalam bidang ilmu pengetahuan. Jika konsep ilmu secara islamik diterapkan dalam sistem pembelajaran, sebagaimana ianya menjadi teras kepada sistem pembelajaran dalam masyarakat Islam suatu ketika dahulu, nescaya umat Islam akan dapat menghindari penyakit Sekularisme dalam bidang ilmu pengetahuan.
Di samping tradisi pembelajaran dan konsep ilmu secara Islamik, penekanan terhadap tujuan menuntut ilmu juga perlu diambil kira kerana niat dalam menuntut ilmu menurut Islam adalah bertunjangkan konsep kehambaan. Ini bererti, seseorang perlu mempunyai niat beribadah dalam menuntut ilmu iaitu dia menuntut ilmu kerana ingin menunaikan perintah Allah s.w.t. dan ingin mendapat redha daripada Allah s.w.t..
Manfaat daripada ilmu bukan terbatas kepada kebendaan semata-mata sebagaimana ianya difahami oleh golongan Pragmatis dan Materialis Barat, tetapi lebih besar daripada itu. Manfaat utama daripada ilmu adalah untuk membawa seseorang kepada mengenal hakikat diri dan makhluk lalu membawa kepada mengenal hakikat ketuhanan Allah s.w.t.. Ilmu yang tidak membawa seseorang kepada Allah s.w.t. dikenali sebagai hijab dan tidak ada nilai cahaya padanya. Nauzubillah min zalik…
Al-Faqir ila Rabbihi Al-Jalil
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin
`Amalahullah bi Lutfihi al-Khafiy
______________________________________________________
[1] Hadis riwayat Imam Muslim dalam Sahihnya dan sebagainya.
[2] Tamat rujukan daripada kitab Haqa’iq Ani At-Tasawwuf dalam bab Ilmu m/s: 55-58
[3] m/s: 4
[4] Hadith diriwayatkan daripada Saidina Ali r.a. dengan sanad dha’if menurut Imam Al-‘Iraqi dalam Takhrij beliau terhadap kitab Al-Ihya’ (1/86).
[5] ayat pertama
[6] Hilyah al-Auliya’
[7] Al-Bahr al-Madid pada ayat tersebut.
[8] Beliau ialah al-Mujadddin al-Imam Fakhruddin Abu Abdillah Muhammad bin Imam Umar bin Al-Hasan bin Al-Husein At-Taimi Al-Bakri. Nasab beliau bersambung juga kepada Saidina Abu Bakr As-Siddiq r.a.. Beliau dilahirkan di Bandar Ri pada tahun 543 Hijrah. Ayahnda beliau adalah Imam Dhiya’uddin Umar bin Al-Husein bin Al-Hasan yang merupakan seorang ulama’ fiqh yang besar yang juga merupakan murid kepada Imam Al-Baghawi. Antara kitab-kitab beliau: Ikhtashar Dala’il Al-I’jaz, Asas At-Taqdis, Al-Masa’il Al-Khamshun fi Usul Al-Kalam, Tafsir Mafatih al-Ghaib dan sebagainya. Beliau meninggal dunia pada satu syawal tahun 606 Hijrah.
[9] Boleh rujuk kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karangan al-Imam al-Razi
[Sumber dari SINI]